krosor

Dancing Cat

Jumat, 30 Desember 2011


Kata Pengantar





Otonomi Daerah  adalah dalam upaya pelaksanaan roda Pemerintahan Pusat yang memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantu dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dam sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi (UUD 1945).
Undang-undang otonomi daerah sebelumnya adalah Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan, yang telah diganti karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman yaitu dengan Undang Undang No. 32 Tahun 2004, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang  dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri segala urusan pemerintah daerah dan segala kepentingan masyarakat daerah /setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dimana Daerah Otonomi, disebut daerah yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur, mengurus segala urusan Pemerintahan, mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan kepentingan masyarakat daerah/setempat yang menurut prinsip dasar daerah itu sendiri  yang berdasarkan aspirasi masyarakat yang tidak boleh terlepas dari prinsip dasar dan sistim Pemerintahan  Pusat yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip dasar tersebut tertuang dalam Pasal 2 : ayat (1). Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah, (2). Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantu, dan (3). Dasar pemikiran dan alur pikir dari penulis memilik judul                           Masalah-masalah Hukum Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ” adalah bertujuan untuk dapat mengetahui sampai sejauh mana Undang-undang Otonomi Daerah efektif dapat dijalankan dalam rangka melaksanakan amanat UUD 1945 dan dengan harapan semoga hasil pemikiran penulis yang berupa makalah dapat bermanfaat bagi kalangan akademisi dan dikalangan masyarakat Indonesia pada umumnya.

           Penulis,    januari 2011.




Sholihin
Nim.0905167229








BAB  I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Otonomi Daerah  adalah dalam upaya pelaksanaan roda Pemerintahan Pusat yang memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantu dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dan sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi (UUD 1945). Dengan didasari oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri segala urusan pemerintah daerah dan segala kepentingan masyarakat daerah /setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Dimana Daerah Otonomi, disebut daerah yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus segala urusan Pemerintahan, Mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan kepentingan masyarakat daerah/setempat yang menurut prinsip dasar daerah itu sendiri  yang berdasarkan aspirasi masyarakat yang tidak boleh terlepas dari prinsip dasar dan sistim Pemerintahan  Pusat yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Visi dan Misi dari Pemerintah Pusat didalam menjalankan Roda Pemerintahan adalah untuk mengimplentasikan dalam bentuk realiasi pembangunan nasional yang merata dan merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undangundang Dasar 1945.
Terdapatnya kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang sehingga, dalam penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia internasional. Namun demikian, selain sumberdaya alam mendatangkan kontribusi besar bagi pembangunan, di lain pihak dan keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan, begitu juga aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan, sehingga ada kecenderungan terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Pengelolaan sumberdaya alam[1] dan lingkungan hidup.
Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, yang tidak terlepas dari masalah pengelolaan lingkungan hidup (Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai 6 kewenangan terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat penanganan pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota. [2]
Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri[3] No 045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang pengakuan Kewenangan/Positif List terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.
Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan di sekitar areal pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan hidup dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan untuk pertambangan di hutan lindung. Dengan kata lain permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[4]
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang. Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan[5] (World Summit on Sustainable Development - WSSD) di Johannesburg Tahun 2002,[6] Indonesia aktif dalam membahas dan berupaya mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan memperkuat satu sama lain.
Dengan pemikiran latar belakang tersebut bahwa terlihat pada peraturan perundang-undangan Otonomi Daerah sangat berkaitan erat dengan Peraturan perundang-undangan lainnya seperti salah satunya undang-undang Lingkungan Hidup, yang mungkin saja terjadinya benturan-benturan atau tumpang tindihnya kewenangan, seperti untuk memenuhi perekonomian daerah, pemerintahan daerah mengijinkan untuk menggunakan sumber daya alam yang ada tetapi tidak memperhatikan dampak-dampak negatifnya dan disisi lain peraturan perundang-undang pencemaran lingkungan hidup sangat melarang untuk menggunakan sumber daya alam yang dilakukan dengan cara-cara dan penataaan yang baik, contohnya penebangan  liar (terlihat jelas terjadinya benturan kewenangan pada lintas sektoral, yang mengakibatkan salah satu perundang-undang tersebut menjadi mandul).
Tujuan dan maksud  pembahahasan Otonomi Daerah adalah untuk mengetahui sampai sejauh manakah Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi daerah dapat efektif berjalan tanpa terjadinya benturan atau tumpang tindihnya kewenangan, baik dengan Pemerintah Pusat atau dengan kewenangan lintas sektoral seperti perundang-undangan lingkungan hidup. Gejalan-gejalan pergesekan dan tumpang tindihnya kewenangan atau kebijakan tersebut harus dihindari sedini mungkin, agar realisai dan implemtasi dari peraturan perindang-undang Otonomi  Daerah benar-benar efektif dan sesuai dengan nilai-nilai dasar yang luhur dari Pancasila dan UUD 1945. Jika masalah-masalah tersebut tidak dikaji dan dianalisa dengan secara mendalam oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah serta melakukan kajian lintas sektoral yang berkaitan dan berhubungan erat  dengan  peraturan perundang-undangan Otonomi Daerah tersebut.
Dengan didasari oleh Kerangka teori dan konsep dari Politik Hukum tentang Otonomi Daerah  adalah  sebagai berikut :



UUD 1945 Pasal 1  dan Pasal 18 :  
(1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Dan Pasal 18  tentang Pemerintahan Daerah : “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
UU Nomer 32 Tahun 2004, Pasal 2 tentang Pemerintahan Daerah :
  (1).Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah., (2).Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembatuan dan (3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah, serta (4).Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.” (Hilaire Barnett : “ Coustutionalisme is the doctrine which governs the legitimacy of government action. By constituonalisme is meant - in relation to constituons written and unwitten conformity with the broad philosophical values within a state.) ”[7]
Landasan Hukum Otonomi Daerah adalah  Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia , yaitu  1. Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23E ayat (2), Pasal 24A ayat (1), Pasal 31 ayat (4), Pasal 33, dan Pasal 34, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286), 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,  Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310);
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, penulis merumuskan Otonomi Daerah             yaitu : Apakah pemberlakuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah telah efektif dijalankan dan tidak mengalami tumpang tindih didalam mengimplementasikan undang-undang  tersebut ?
Berdasarkan asumsi sementara bahwa Undang-Undang No 32 Tahun 2004 terkesan didalam implementasinya belum terealisasi dengan sebaik-baiknya, terlihat bahwa undang-undang terhadap segala kewenangan maupun kebijakannya, mengakibatkan timbulnya pertentangan dengan undang-undang Lingkungan hidup.[8] Mengapa demikian ? Dengan melihat dari satu sisi pasal-pasal undang-undang Lingkungan Hidup melarang untuk melakukan penebangan liar  dan melakukan pencemaran terhadap Sumber Daya Alam dan disatu sisi yang lain undang-undang Otonomi Daerah memberi ijin olehkan penebangan terhadap hutan-hutan lindung dan pencemaran terhadap Sumber Daya Alam atau seakan-akan tidak mau tahu. Dimana terkesana terjadinya Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang  terjadi pada lintas sektoral dan belum lagi dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait, seperti bidang pertanahan yang dibawah penguasaan Pemerintah Daerah.



Bab II
Otonomi Daerah


A..       Pengertian  Otonomi Daerah

Pemerintahan daerah/otonomi daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah terdiri  dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan dalam Pemerintahan Daerah terdapat pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yaitu suatu lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan daerah otonom tersebut adalah merupakan daerah kesatuan masyarakat hukum[9] yang mempunyai batas-batas wilayah yang  berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat[10] dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan berdasarkan sistim Desentralisasi adalah dimana penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sistim Dekonsentrasi yaitu berupa pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Didalam tugasnya Pemerintah Daerah membantu Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas tertentu pemerintahan daerah, dengan mempunyai kewenangan membuat Peraturan daerah (Perda) yang merupakan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten/kota.[11]
Dalam hal perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistim pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan  penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
Sebagaimana telah penulis jelaskan diatas, dimana ruang lingkup dari Otonomi Daerah adalah kewenangan penuh yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan membangun Daerahnya[12] dengan perimbangan keuangannya yaitu berdasarkan suatu sistim pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran  pendanaan  penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut.
Dimana maksud dari Otonomi Daerah adalah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang di amanatkan oleh  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana pemerintahan daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat[13] melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam arti dimana segala kebijakan internal dari Pemerintahan Daerah tersebut harus dikelola sepenuhnya untuk kepentingan daerahnya dengan berdasarkan segala kebijakan yang berupa peraturan daerah baik peraturan Geburnur, peraturan Bupati maupun peraturan Wali Kota, dimana kebijakan-kebijakan yang telah diberlakukan tersebut tidak boleh terjadi tumpang tindihnya antar kebijakan dengan Kebijakan eksternal yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan berlaku secara universal, mengingat kebijakan Pemerintah Pusat sebagai pelaksana roda pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tujuan dari Otonomi Daerah[14] adalah untuk mencapai efisiensi dan efektivitas didalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sangat perlu ditingkatkan dengan kearah yang lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan. daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah, perekonomian daerah, keuangan daerah dan keamanan daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI).[15] Tercapainya  efisiensi dan efektifitas dari otonomi daerah adalah untuk meringankan beban kerja Pemerintah Pusat, agar segala pengaturan mengenai pelaksanaan roda pemerintahan daerah terutama dibidang perekonomian, keuangan keamanan daerah dan Pilkada dapat terealisasi dan terpeliharan oleh masing-masing Pemerintahan daerah telah diberi kewenangan oleh Pemerintah Pusat untuk melakukan pembangunan nasional seutuhnya.





















Bab III
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH



Dengan dilandasi oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Nomer 32 tahun 2004, dimana pelaksanaan Otonomi Daerah direfleksikan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah-daerah diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka pemenuhan keinginan dari Undang Undang Dasar 1945.


A.     Hubungan  Hukum antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan pesan dan amanat kebijakan (political messages)[16] mengenai format perekonomian nasional (disusun sebagai usaha bersama di antara semua aktor ekonomi) berdasarkan asas kekeluargaan (brotherhood, bukan family relationship), bukan gronyisme juga amanat supaya kekayaan alam tanah air ini dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (bukan secara oligarkis dan kroniisme), Bahkan supaya fakir miskin dan yatim piatu sebagai kaum lemah beserta kaum-kaum lemah lainnya, terutama dalam hal kehidupan sehari-hari. Juga dalam hukum pemerintahan dan kesempatan kerja dan berusaha, ternyata tidak konsekwen dan konsisten dijadikan sebagai acuan dan referensi konsitusional dalam praktek, kecuali lebih banyak retorika politis lewat GBHN.
Pada hakekatnya, deviasi dan penyimpangan konstitusional[17] yang terjadi selama inilah yang harus dikembalikan ke koridor sistim hukum yang sebenarnya, satu upaya besar rekonstitusionalisasi dalam rangka mencari format konsititusionalisme yang baru bagi bangsa Indonesia. Dapat prediksi yaitu  selama masalah dan kepentingan yang standar dan prinsipal ini belum terpecahkan dan terselesaikan, maka sistim politik dan sistim perekonomian berikut sistem dan sub-sub sistim lainnya tidak akan kunjung mendapat format dan profilnya yang baru yang dinilai memenuhi keinginan masyarakat banyak dan luas, khususnya bagi Bangsa Indonesia.
Suatu kebijakan tanpa kemasan (package of policy)[18] yang rapi dan terpadu, dapat terjadi bahwa daerah-daerah hanya sekedar lahan dan objek  (sasaran) dan tidak turut sebagai subjek dan aktor aktif dalam kerjasama nasional  regional dan global. Dengan melalui pemikiran politis-strategis, kita sadar sepenuhnya bahwa Pemerintahan kita tidak mampu sendirian untuk membiayai pembangunan nasional perekonomian misalnya, oleh karenanya tak dapat tidak harus dirangkul potensi sektor swasta (private sectors)[19] untuk mendukung beban ini, (domestic and foreign) setidak-tidaknya melalui penanaman modal dan pengembangan usaha di sektor pertanian dan perindustrian, lalu kemudian kita akan mengekspor barang jadi dan setengah jadi ke luar, kita peroleh devisa, lalu kita pergunakan via APBN dan APBD untuk membiayai proyek-proyek pembangunan Indonesia. Dalam konteks kebijakan yang demikian dengan perundang-undangan yang mendukung kemudian di terapkannya deregulasi dan debirokratisasi secara paradigmatik untuk melancarkan proses administrasi buat melayani para penanam modal (domestic and foreign invertors) juga untuk menarik minat untuk beroperasi di wilayah dan lahan-lahan Negara Indonesia
Di dalam negara kesatuan, sering muncul isu kepentingan nasional yang dipertentangkan dengan kepentingan daerah. Dalam konteks ini, pemerintahan Pusat adalah pembela utama kepentingan nasional. Pemerintahan Pusat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan pada tingkat nasional. Sebelum semuanya dimulai, harus lebih dulu di redakan gonjang­ganjing politik dan kekuasaan yang lagi berkobar secara sentral di tanah air ini. Baru kemudian, duduk bersama dengan pikiran yang jernih dan ideaf-futuristik, untuk memikirkan format konsitutisionalisme yang dipanjang pas dan cocok untuk masa depan Bangsa Indonesia.
Bagi Pemerintahan (Pusat) sumber-sumber kekayaan yang ada di daerah-daerah adalah bagian yang amat penting bagi penghasilan nasional, karena pertambangan, industri, pertanian, kehutanan dan berbagai bentuk badan usaha di daerah. Menurut kacamata Pemerintahan (Pusat) sumber kekayaan yang berasal dari suatu daerah adalah milik nasional yang dihasilkan oleh suatu Daerah tidak bisa hanya digunakan untuk kepentingan daerah bersangkutan. Asas pemerintahan merupakan salah satu pedoman kerja Pemerintahan (Pusat) sehingga sumbar kekayaan yang ada di daerah tertentu dibagikan pula ke daerah-daerah lain. Akibatnya, kekayaan suatu daerah tidak dapat dinikmati sendirian oleh Daerah penghasil kekayaan alam tersebut.
Dan sebaliknya, pemerintah daerah lebih menekankan pada kepentingan daerah dan dalam pandangan Pemerintah Daerah bahwa sumber-sumber kekayaan yang ada di daerahnya sering kali dianggap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan daerah dan rakyat daerah itu sendiri. Terutama jika daerah bersangkutan masih terbelakang dan miskin, maka semakin besar pula tuntutan agar supaya sumber-sumber kekayaan yang ada di daerahnya dapat  digunakan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan dan rakyat di daerah tersebut.
Sebagai jawaban yang paling utama, harus dimulai untuk menata kembali “hubungan kekuasaan dan hubungan  keuangan antara Pusat dan Daerah” secara nasional melalui Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan kemudian disusul dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang diatur melalui Peraturan Pemerintahan (PP).
Yang menjadi pertanyaan, adalah sejauh mana konsensus nasional dapat dicapai sebagai political will, yang akan menjadi landasan politis srategis buat menata hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yaitu hubungan dalam suatu aspek keadministrasian negara, yang tak dapat dihindari baik dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan forum diskusi mengenai amandemen pasal-pasal UUD 1945, masalah Pemerintah Daerah dengan masalah Otonomi ini adalah termasuk masalah yang rentan dan prinsipil. Sampai hari ini belum ada kata-akhir mengenai persoalan akan dibagaimanakan masalah otonomi daerah ini untuk keperluan di masa yang akan datang. Disamping mengakui beberapa kebaikannya saya melihat kehadiran UU Nomer. 32 tahun 2004 yang harus lebih disempurnakan sesuai dengan perkembangan jaman.
Karena UU Nomer 32 Tahun 2004, merupakan sebagai acuan yuridis untuk menata ulang pemerintahan dan pembangunan di daerah, pembangunan di bidang perekonomiannya termasuk dunia usaha yang dinilai kondusif untuk pengembangan daerah-daerah di  Indonesia. Dengan demikian jelaslah hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah sangat erat sekali, dan saling membutuhkan baik secara administrative keuangan maupun perekonomian Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang harus harmonis dan sejalan dengan apa yang diamantkan oleh Undang Undang Dasar 1945.










B.     Pertanggung Jawaban Hukum Otonomi Daerah.

Dalam hubungan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai hasil desakan dan pukulan reformasi dan eforia demokrasi di tahun 1998 dan 1999 dihubungkan dengan moment lahirnya amandemen UUD 1945 (termasuk amandemen terhadap pasal 18 UUD itu tentang Pemerintahan Daerah) sebagai hasil  desakan lanjut reformasi dan eforia demokrasi itu khususnya untuk mereformasi konstitusi 1945 di tahun 1999, 2000,2001 dan 2002. Setelah keluarnya UU mengenai Pemerintahan Daerah dan Keuangan Daerah itu  apakah semua permasalahan sudah atau dapat segera diselesaikan ? Ternyata tidak. Bahkan Timbul masalah-masalah baru sebagai konsekwensi dari pergeseran garis kebijakan politik dan perundang-undangan itu, Sedangkan disisi lain, peraturan-peraturan untuk pelaksanaan tidak segera dilengkapi (organieke verordeningen). Terasa kerunyaman bahkan kekurang-kepastian hukum mengenai status, posisi dan fungsi, dalam konteks hubungan antara pusat dan Daerah, bahkan juga terasa adanya kesimpangsiuran pandangan dan penafsiran mengenai hakekat otonomi daerah dalam undang-undang tersebut.
Kerunyaman Transisional, terjadi pergolakan poIitis-yuridis administratif dalam hubungan antara Pusat dan Daerah. Bahkan antara Propinsi dengan kabupaten / Kota, bahkan Iagi antara sesama kabupaten / Kota itu sehingga terjadi semacam terputusnya hubungan hirarkis secara vertikal dan juga seperti hapusnya hubungan koordlinator dan subordinatif di antara sesama Pemerintahan di Daerah.
Beberapa contoh :
-   Tidak semua pihak legislatif maupun eksekutif didaerah Kabupaten dan Daerah Kota itu dinilai “siap” dalam arti menguasai pemahaman untuk menerapkan undang-undang, dengan persepsi yang sama.
-   Terjadi sikap yang Ekstrim sedemikian, sehingga Daerah-daerah Kabupaten dan Kota menganggap tidak ada hubungan administratif dan fungsional sama sekali dengan Propinsi, dan beberapa KDH telah langsung berhubungan dengan Pemerintah pusat tanpa “sekedar pemberitahuan atau beri kabar pun” kepada Gubernur KDH Propinsi.
-   Timbul kecenderungan Kabupaten untuk mengeruk sebanyak mungkin sumber PAD   seakan-akan kepentingan kesejahteraan masyarakat dinomor duakan, dan belum tentu terjamin bahwa pungutan-pungutan itu akan membalik (feed back, melting process) sebagai biaya penanggulangan kepentingan kesejahteraan rakyat (public service). Terjadi semacam rebutan kedudukan antar kaum politisi dari Parpol dan kalangan aparat birokrat yang telah meniti karir dengan jenjang pendidikan dan dengan jam terbang pengalaman yang cukup lama untuk menduduki posisi-posisi eksekutif. Bahkan disana sini terjadi “money politics” padahal menurut teriakan dan pekik reformasi semula, KKN harus dikikis habis, khususnya “suap menyuap” dalam hal pencalonan Kepala Daerah dan Wakilnya. Sampai saat ini masih ada kasus money politics ini, yang belum tuntas pemerosesannya secara yuridis. Apakah ini tidak bertentangan dengan visi dan misi reformasi dan prinsip demokrasi ?.
-  Terlihat adanya kecenderungan pengkaplingan wilayah kekuasaan diantara Kabupaten-kabupaten dengan semangat otonomi yang meluap-luap dan menganggap tidak harus adanya lagi campur tangan Pusat terhadap kasusnya meskipun mengaku bahwa negara ini (masih) negara kesatuan. Apakah merasa tidak perlu adanya lagi koordinasi ataupun konsultasi?. Dalam praktek dan perkembangan di daerah-daerah, muncul pemeo bahwa penguasa sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah, telah menjadi semacam “raja-raja kecil” yang mengklaim tidak adanya lagi hubungan kordinatif dan kontrol oleh Propinsi / Gubernur terhadap Kabupaten / Bupati dan Kota / Walikota. Beberapa contoh Bupati sudah langsung berhubungan dengan menteri Dalam Negeri “tanpa kordinasi / konsultasi” lagi kepada Gubernur.
-  Terdapat ketidak -pastian mengenai perlu tidaknya penyusunan Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten, disusun dengan cara menyesuaikan dengan Propeda Propinsi (termasuk Rencana Strategisnya), dan sebaliknya apakah pemerintah Propinsi masih punya kewenangan memberikan semacam arahan strategis kepada Kabupaten dan Kota. Kalaupun tidak mengakui perlunya sub-ordinasi, apakah tidak perlu lagi koordinasi, sebagai salah satu fungsi manajemen ?.
-  Restrukturisasi kelembagaan dan kepegawaian pasti terjadi secara besar-besaran karena Daerah harus menuntaskan reposisi dan refungsionalisasi para pejabat dan pegawai, yang tadinya adalah aparat Pusat dan Daerah, (Kanwil, Kandep, Dinas, Cabang Dinas) yang bersama-sama berada di Daerah yang sama dan rnengenai urusan yang sama atau bersamaan.
-  Mengenai urusan-urusan tertentu termasuk “pertanahan” misalnya, masih akan menjadi permasalahan, karena kedua pihak Pemerintah akan dipertanyakan, pihak mana kelak dan kompeten mengenai urusan pertanahan, apakah kabupaten dan Kota yang menjadi tempat lokasi tanah ataukah pihak Pusat atau Propinsi. Dengan kata lain, apakah BPN atau akan ada Dinas Pertanahan Daerah untuk mengurusi pertanahan.
Dasar hukum untuk kewenangan daerah (Kabupaten dan Kota) mengenai “Pertanahan” ialah pada UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur  bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industeri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Dalam arti dan pentingnya prakarsa daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu menurut UU No. 32 Tahun 2004, sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing, dan merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak dapat dialihkan Daerah Propinsi.



C.     Masalah-masalah Kewenangan

Sebagaimana penulis telah jelaskan diatas, dimana timbul berbagai masalah-masalah kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terutama di bidang pengelolaan pendapatan daerah.

c.1.   Masalah kewenangan berdasarkan faktor Internal.

Penafsiran terhadap pasal 4 UU No. 32 tahun 2004. Dalam praktek pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004 yang ternyata dapat memberikan tafsiran dalam arti sempit, sehingga menimbulkan konflik antara Pemerintah Propinsi dengan Kabupaten / Kota dan sebaliknya antara Kabupaten dengan Kabupaten, dan juga antara Kabupaten dengan Kota dalam wilayah yang berhampiran. Apabila dicermati pada UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Daerah Propinsi. Daerah Kabupaten / Kota masing-­masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain.
Dalam hal pembagian Wilayah Daerah Khususnya Wilayah Laut, dimana dalam implementasinya, seharusnya diterbitkan peraturan pelaksanaannya (organieke verordening, mungkin berupa PP atau Keppres), sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pedoman Perangkat Daerah, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom kiranya memerlukan aturan pelaksanaannya untuk menjadi pedoman mengenai standard dan norma berupa petunjuk dan arahan dari Menteri yang terkait. Dalam kenyataannya pengintegrasian tersebut lebih didominasi atas pengalihan status PNS, personil dan beberapa aset serta sebagian kewenangan yang dinilai dapat dilaksanakan Propinsi.
Sumber penerimaan, khususnya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Menurut pengamatan dan pengalaman, pelaksanaan UU No. 22 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara bukan Pajak (PNBP) juncto PP No. 22 tahun 1997 tentang Penyetoran dan Jenis-Jenis PNBP, berarti PP ini diharapkan menjadi semacam lex specialis (aturan khusus). Sedangkan dalam pelaksanaannya. ternyata pengaturan kewenangan secara teknis diterbitkan (SE, Surat Edaran) dan Keputusan Mentri terkait, yang difasilitasi oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan di sisi lain Undang-Uundang  maupun Peraturan Pemerintah mengenai penyerahan kewenangan pengelolaan PNBP kepada Daerah sama sekali belum diterbitkan, sehingga menimbulkan keraguan, baik bagi Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten / Kota. Dalam praktek, untuk mengatasi keraguan yang berkepanjangan itu, maka dengan berpegang pada petunjuk Menteri “terkait” baik berupa Keputusan maupun Surat Edaran, beberapa Daerah memberanikan diri menerbitkan Peranan Daerah (Perda) tentang pengelolaan kewenangan tersebut yang berkaitan dengan “Objek pungutan daerah”.
Untuk Propinsi sudah ditetapkan secara Limitatif (berarti tidak dapat menetapkan jenis Pajak lain), sedangkan Pajak Kabupaten / Kota masih dapat menetapkan jenis Pajak Baru selain dari yang telah ditetapkan, sesuai dengan potensi dan kriteria yaing sudah ditentukan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilanjutkan melalui PP No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, maka Pajak Propinsi bagi hasilnya kepada Kabupaten/ Kota yang di kelolakan dengan memperhatikan aspek potensi dan aspek pemerataan. Itu berarti, tidak sepenuhnya hasil penerimaan Pajak Propinsi dapat dimanfaatkan Propinsi dalam APBD-nya untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan, pelaksanaan Pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan disisi lain, Kabupaten / Kota , selain dapat memanfaatkan sepenuhnya penerimaan yang dikelolanya, juga dapat pula memanfaatkan dana perolehan penerimaan bagi hasil Pajak Propinsi dalam APBD Kabupaten / Kota itu.
Dihubungkan dengan ketentuan hukum mengenai penyerahan jenis-jenis kepada daerah, perlu kepastian hukum (rechts zekerheid) sebagai pedoman bagi propinsi maupun Kabupaten / Kota, supaya tidak terkesan adanya “tarik menarik” diantara instansi-instansi itu, dan terlihatnya duplikasi mengenai “objek penerimaan pungutan” yang sama, yang membingungkan para “subjek membayar PNBP” itu sendiri.

c.2.   Masalah kewenangan berdasarkan  faktor Eksternal.

Dimana UU No. 32 tahun 2004 ditinjau berdasarkan factor eksternal terdapatnya bermasalahan kewenangan Pemerintah Pusat yang telah dibatasi oleh undang-undang tersebut, yang sehingga menimbulkan konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terutama didalam hal pendapatan keuangan daerah. Dimana Program Pemerintah Pusat untuk menarik anggaran pendapatan daerah yang mempunyai pendapatan yang surplus dan kemudian dikumpulkan untuk dibagikan pada daerah-daerah yang minus dalam rangka pemeretaan pembangunan dan pemekaran wilayah di Indonesia. Begitu pula terhadap permasalahan pembagian Wilayah Daerah yang khususnya Wilayah Laut, dimana pada implementasinya, Pemerintah Pusat tidak dapat berbuat banyak terhadap wilayah laut, didalam hal pengelolaan wilayah laut dan pelestarian lingkungan hidup, yang sehingga menimbulkan tari-menariknya kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dimana pengawasan Pemerintah Pusat pada kawasan wilayah laut tidak dapat berjalan dengan sebaik-baiknya karena terhadang oleh kewenangan Otonomi Pemereintah Daerah tersebut.
Tarik menarik kewenangan secara factor eksternal yaitu antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah diberbagai sector, mengakibatkan segala kebijakan Pemerintah Pusat tidak dapat berjalan dengan sebagi-baiknya, karena daerah otonom ini merasa telah mutlak untuk menguasai seutuhnya kekayaan alam yang berupa Sumber Daya Manusia dan Sumber daya alam untuk digunakan dalam penembangan dan pembangunan dareahnya sendiri.
Kewenangan Pemerintah Pusat mengenai “Pertanahan” sudah tidak dimiliki secara seutuhnya karena telah diserahkan kepada Pemerintahan Daerah yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industeri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja dan Mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dengan demikian kewenangan Pemerintah Pusat secara factor eksternal sudah dipersempit dengan adanya undang-undang otonomi daerah. Pemerintah Pusat tidak dapat melakukan pengawasan secara dekat terhadap asset Negara yaitu kawasan laut, kepulaun dan pertanahan karena semuanya sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah berdasrkan sistim Otonomi daerah tersebut.



c.3    Tumpang tindihnya Peraturan Perundang-undangan. Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Dilihat dari kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan peraturan perundang-undang Otonomi Daerah, dimana Pemerintah Pusat sebagai pelaksana jalan roda pemerintahan sesuai dengan amanat dari UUD 1945 yaitu didalam melaksanakan pemeretaan pembagunan didaerah-daerah tidak tercapai dengan sempurna, mengingat dengan berlakuknya undang-undang otonomi daerah tersebut, Pemerintah Daerah diberi kewenangan Otonomi untuk mengurus daerahnya sendiri. Dari proyeksi inilah maka terkesan Pemerintah Pusat hanya menerima hasilnya dari Pemerintah Daerah, akan tetapi dalam hal  kewenangan pengawasan seperti kawasan laut dan pertanahan Pemerintah Pusat tidak dapat berbuat banyak.
Apalagi terhadap lintas sektoral seperti peraturan Menteri Lingkungan Hidup, yang melarang untuk melakukan penebangan liar dan pencemaran lingkungan hidup, di satu  sisi Peraturan Daerah membolehkan melakukan penebangan hutan lindung dan dampak pencemarannya tidak diperhatikan oleh Pemerintahan Daerah, dengan dalih karena investasi daerah dan merupakan sumber pemasukan keuangan daerah. Yang menjadi permasalah yang paling pripsip adalah jika terjadi bencana alam, Pemerintah Daerah berdalih bahwa dalam masalah bencana alama merupakan kepentingan nasional dengan demikian Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab terhadap permasalahan tersebut. Atas dasar  segala permasalahan tersebut, maka perlunya ada juklak atau Kepres atau peraturan sejenisnya untuk menengahi dan memberi jalan pemecahan agar tidak terjadi lagi tumpang tindih kewenangan, tarik-menariknya kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut




D.    Analisa Peraturan Perundang-undangan Otonomi Daerah berdasarkan faktor Internal dan faktor Eksternal.

Sebagai analisa dari UU No. 32 Tahun 2004 Bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan perangkat Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati,atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah  dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah suatu lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian secara Faktor internal bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Upaya tersebut dilakukan dengan sistim Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang masih didalam lingkung kewenangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pula dilakukannya sistim Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Analisa berdasarkan factor ekternal adalah kedudukan Pemerintah pusat, yang disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kekuasaan Pemerintah Pusat secara factor eksternal telah dibatasi oleh undang-undang otonomi daerah yaitu dengan UU No. 32 Tahun 2004.
Terhadap penyelengaraan pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam. wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota yaitu untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas yang ditetapkan dengan undang-undang yaitu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dan begitu penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dan administrasi pendanaan  didanai dari beban anggaran pendapatan dan belanja negara.
Demikianlah analisa penulis berdasarkan factor internal dan factor ekternal, dimana dengan realisasi dan implemetasi dari kebijalan UU No. 32 tahun 2004, walaupun Pemerintah Pusat telah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah, pemerintah pusat masih mempunyai kewajiban terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dan administrasi pendanaan  yang didanai dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja Negara Republik Indonesia. Dengan berlakuknya undang-undang otonomi daerah maka hirarki antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah nampak tidak terlihat jelas, hal ini dilihat dari berbagai kebijakan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah yang sering tidak direalisakan dan di implementasikan oleh Pemerintah daerah secara baik, dan sebagai akibatnya koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.












  Bab V 
    P  e  n  u  t  u   p
     
-  Kesimpulan

1.      otonomi daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan dalam Pemerintahan Daerah terdapat pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Dalam hal perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistim pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan  penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
2.      Otonomi Daerah bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas didalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sangat perlu ditingkatkan dengan kearah yang lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan. daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah, perekonomian daerah, keuangan daerah dan keamanan daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI). Dasar Hukum Otonomi Daerah Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Nomer 32 tahun 2004, dalam Pasal 33 UUD 1945. Konsensus nasional dapat dicapai sebagai political will, yang akan menjadi landasan politis srategis buat menata hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yaitu hubungan dalam suatu aspek keadministrasian negara, yang tak dapat dihindari baik dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.      Masalah-masalah kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terutama di bidang pengelolaan pendapatan daerah. Penafsiran terhadap pasal 4 UU No. 32 tahun 2004. Dalam praktek pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004 yang ternyata dapat memberikan tafsiran dalam arti sempit, sehingga menimbulkan konflik antara Pemerintah Propinsi dengan Kabupaten / Kota dan sebaliknya antara Kabupaten dengan Kabupaten, dan juga antara Kabupaten dengan Kota dalam wilayah yang berhampiran. Apabila dicermati pada UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Daerah Propinsi. Daerah Kabupaten / Kota masing-­masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain yaitu dalam hal pembagian Wilayah Daerah Khususnya Wilayah Laut, dimana dalam implementasinya, seharusnya diterbitkan peraturan pelaksanaannya (organieke verordening, mungkin berupa PP atau Keppres), sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4.      Tinjauan berdasarkan factor eksternal terdapatnya masalahan kewenangan Pemerintah Pusat yang telah dibatasi oleh undang-undang tersebut, yang sehingga menimbulkan konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terutama didalam hal pendapatan keuangan daerah. Dimana Program Pemerintah Pusat untuk menarik anggaran pendapatan daerah yang mempunyai pendapatan yang surplus dan kemudian dikumpulkan untuk dibagikan pada daerah-daerah yang minus dalam rangka pemeretaan pembangunan dan pemekaran wilayah di Indonesia. Begitu pula terhadap permasalahan pembagian wilayah Daerah yang khususnya Wilayah Laut, dimana pada implementasinya, Pemerintah Pusat tidak dapat berbuat banyak terhadap wilayah laut, didalam hal pengelolaan wilayah laut dan pelestarian lingkungan hidup, yang sehingga menimbulkan tari-menariknya kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dimana pengawasan Pemerintah Pusat pada kawasan wilayah laut tidak dapat berjalan dengan sebaik-baiknya karena terhadang oleh kewenangan Otonomi Pemerintah Daerah tersebut.Tarik menarik kewenangan secara factor eksternal yaitu antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah diberbagai sector, mengakibatkan segala kebijakan Pemerintah Pusat tidak dapat berjalan dengan sebagi-baiknya, karena daerah otonom ini merasa telah mutlak untuk menguasai seutuhnya kekayaan alam yang berupa Sumber Daya Manusia dan Sumber daya alam untuk digunakan dalam penembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Begitu pula kewenangan Pemerintah Pusat mengenai “Pertanahan” sudah tidak dimiliki secara seutuhnya karena telah diserahkan kepada Pemerintahan Daerah yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan  kebudayaan, pertanian, perhubungan, industeri,perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, tenaga kerja  dan mengadakan Pilkada.
5.      Dengan melihat kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan peraturan perundang-undang Otonomi Daerah, dimana Pemerintah Pusat sebagai pelaksana jalan roda pemerintahan sesuai dengan amanat dari UUD 1945 yaitu didalam melaksanakan pemeretaan pembagunan didaerah-daerah tidak tercapai dengan sempurna, mengingat dengan berlakuknya undang-undang otonomi daerah tersebut, Pemerintah Daerah diberi kewenangan Otonomi untuk mengurus daerahnya sendiri. Dari proyeksi inilah maka terkesan Pemerintah Pusat hanya menerima hasilnya dari Pemerintah Daerah, akan tetapi didalam hal kewenangan pengawasan seperti kawasan laut dan pertanahan Pemerintah Pusat tidak dapat berbuat banyak. Begitu pula terhadap kewenangan lintas sektoral seperti peraturan Menteri Lingkungan Hidup, yang melarang untuk melakukan penebangan liar dan pencemaran lingkungan hidup, di satu  sisi Peraturan Daerah membolehkan melakukan penebangan hutan lindung dan dampak pencemarannya tidak diperhatikan oleh Pemerintahan Daerah, dengan dalih karena investasi daerah dan merupakan sumber pemasukan keuangan daerah.
6.      Analisa UU No. 32 Tahun 2004 bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan perangkat Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati,atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah  dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah suatu lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian secara Faktor internal bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7.      Dengan sistim Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang masih didalam lingkung kewenangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pula dilakukannya sistim Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.




DAFTRA PUSTAKA

Azfar, O., Kahkonen, S., Lanyi, A., Meagher, P., and Rutherford, D. 1999: Decentralization, Governance and Public Services. The Impact of Institutional Arrangements. A Review of the Literature. IRIS Centre, University of Maryland, College Park.
Anggraeni, D. 2001: Evaluating the Regional Autonomy Policy. Opinion. Jakarta Post, 17/7/01.
Antlov, H. 1999: Civil Society, Good Governance and Participatory Democracy. Paper presented at the ‘Centre for Regional Autonomy Development workshop’. Cibago, August, 1999.
Alm. J., Aten, R. and Bahl, R. 2001: Can Indonesia Decentralise Successfully? Plans, Problems and Prospects. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37, 83-102.
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofi dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakata, 2002.
AM. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Presfektif Islam, (jakarta : Rajawali, 1987).
Bourchier, D. 2000: Habibie’ s Interregnum: Reformasi, Elections, Regionalism and the Struggle for Power. In Manning, C. and van Diermen, P., Editors, Indonesia in Transition. Social Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 15-37.
Brodjonegoro, B. and Asunama, S. 2000: Regional Autonomy and Fiscal Decentralization in Democratic Indonesia. Unpublished paper, University of Jakarta.
Baswir, 2000: Cited in ‘Regional autonomy policy may end in chaos’, Jakarta Post, 2 1/12/00.
Blair, H. 2000: Participation and Accountability at the Periphery: Democratic Local Governance in Six countries. World Development, 28, 21-39.
Bossuyt, J. and Gould, J. 2000: Decentralisation and Poverty Reduction: Elaborating the Linkages. Policy Management Brief No. 12. Maastricht: ECDPM. On-line: http://www.oneworld.org/ecdpm/pmb/b12 gb .htm
Caragata,W.2001:Autonomy’sLosers.Asiaweek,18/5/01.Online:http://www.asiaweek.com/asiaweek/magazine/nations/0,8782,109281,0
0.html.
Cohen, M. 2000: Chorus of Discontent. Far Eastern Economic Review, 17/02/00, 24-25.
Crook, R. and Manor, J. 1994: Enhancing Participation and Institutional Performance: Democratic Decentralisation in South Asia and West Africa. London: Overseas Development Administration.
Down to Earth, 2001: Rio Tinto Gold Mine Opposed by People of Poboya. Down to Earth Report, 20/03/01.
Engineering Interpretation diambil  dari Bab VII buku Rocoe Pound yang berjudul : Interpretation of Legal History. (USA : Holmes Heach, Plorida, 1986).
Eaton, K. 2001: Political Obstacles to Decentralization. Evidence from Argentina and the Philippines. Development and Change, 32, 10 1-128.
Frans Magnis Suso, Etika Dasa Masalah-masalah Pokok Filsaat Moral, (Yogyakarta, 1985).
Forrester, G. 1999: A Jakarta diary, May 1998. In Forrester, G. and May, R., editors, The Fall of Soeharto. Singapore: Select Books Pte Ltd, 24-69.
Geert, Hartz, Cunningham, Turner, dan Levi Strauss, Struktur Sosial, Agama dan Upacara, dikutip dari www.yahoo.co. Tgl 23 Oktober 2004.
German Technical Cooperation, 2000: Capacity Building for Local Governance. A Framework for Government Action and Donor Support. Draft #2. On-line: www.gtzsfdm.or.id/capacity/cb_index.htm, Report No. WD07.
Hill, H. 1999: The Indonesian Economy in Crisis. Causes, Consequences and Lessons. Allen and Unwin, Australia.
Hutchcroft, P. 2001: Centralization and Decentralization in Administration and Politics: Assessing Territorial Dimension in Authority and Power. Governance, 14, 23-53.
HLA. Hart, Th Consept of  Law, (londn : Oxford University Pes, 1961).
Indonesia Forum Foundation, Office of Transitional Initiatives, 2000: Executive Report on Findings of the Study on Establishing Regional Decentralization in Indonesia/E .R .D .I. National Conference on Regional Autonomy. 15 January - 15 May.
Indonesian Observer, 4/10/00: ‘Regions learning streamlined administration’. Islam, I. 1999: Regional Decentralisation in Indonesia: Towards a Social Accord. Working paper 99/01. Jakarta: United Nations Support Facilityfor Indonesian Recovery.
Jakarta Post, 30/10/00: ‘Central Government must control foreign mining investment’.
Kahin, A. 1994: Regionalism and Decentralisation. In Bourchier, D. and Legg, J., Editors, Democracy in Indonesia. 1950s and 1990s. Victoria, Australia: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 204- 213.
Kearney, M. 2002: New Local Taxes Hurting Indonesia’s Economy. The Straits Times, 7/4/02.
Kirana Jaya, W. and H. Dick, 2001: The Latest Crisis of Regional Autonomy in Historical Perspective. In Lloyd, G. and Smith, S., Editors, Indonesia Today: Challenges of History. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 216-228.
Livingstone, I. and Charlton, R. 2001: Financing Decentralized Development in a Low-Income Government in Uganda. Development and Change 32, 77-100.
Muhammad –Hufy, Ahmad, Akhlak Nabi Muhammad SAW : Keluhuran dan Kemuliaan. (jakarta : Bulan Bintang, 1987), h. 15. Bandingkan uraian, Ahmadamin, Etika (Ilmu Akhlak), ( Jakarta : Bulan Bintang, 1987).
Petromindo, 2000: Mining industry anxiously anticipating decentralization era. Pertromindo .com, 27/11/00.
Podger, O. 2001: Regions know what to do to develop themselves. Opinion. Jakarta Post, 29/3/01.
Prasetyo, P. 2000: Personal communications, 3 1/3/00.
Rondinelli, D. 1990: Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response. Development and Change 21, 491-500.
Rondinelli, D. and Cheema, G. 1983: Implementing Decentralization policies. In Cheema, G. and Rondinelli, D., Editors, Decentralization andDevelopment. Policy Implementation in Developing Countries. California: SAGE Publications, 9-14.
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung, Remadja Karya, 198).
R. Otje Salman, Sosiologi Hukum  : Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbi CV, Armico, 1992).
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang “Otonomi Daearh.”
Republik Indonesia Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah.” [Republic of Indonesia Law Number 22, 1999 regarding ‘Regional Governance’].-sudah tidak berlaku lagi.
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.”
Schwarz, A. 2000: A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. New South Wales: Allen and Unwin.
Siegel, J. 1998 ‘Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998 in Jakarta’, Indonesia, vol. 66, October, pp. 76-100.
Slater, D. 1989: Territorial Power and the Peripheral State: The issue of Decentralisation, Development and Change, 20(3), 501-531.
_____  1990: Debating Decentralisation–A Reply to Rondinelli,Development and Change, 21, 501-512.
Sarjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung : Penrit : PT.Citra Aditya Bakti, 1989).
Soejono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhdap Masalah-Masalah Sosial, Penerbit umni, Bandung, 1981.
Satjipto Raharjo, Ilmu  Hukum, (bandung, Aumni, 1982).
Soerjono Soekanto dan Mustapa Abdullah, Hukum Adat Indonesia. (Jakarta : Rajawali Press, 1983).
Sadli, M. 2000: Establishing Regional Autonomy in Indonesia. The State of the Debate. Paper presented at the University of Leiden, Holland, 15- 16 May.
Samoff, J. 1990: Decentralisation: The Politics of Interventionism, Development and Change, 21, 513-530.
Suharyo, W. 2000: Voices from the Regions: A Participatory Assessment of the New Decentralization Laws in Indonesia. Report prepared for the United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta.
Suryahadi, A., Sumarto, S., Suharso, Y., and Pritchett, L., 2000: The Evolution of Poverty during the Crisis in Indonesia, 1996 to 1999. A research working paper. Jakarta: Social Monitoring and Early Response Unit (SMERU).
Turner, S. and Seymour, R., 2002: Ethnic Chinese and the Indonesian Crisis.In R. Starrs, Editor, Nations under Siege: Globalisation and Nationalism in Asia. New York, Palgrave, MacMillian Press, pp.169- 194.
Wignjodipoero, Soerojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Ada (Jakarta : CV.Haji Masagung, 1983).